WELCOME

WELCOME Into The Rizal's World

Rabu, 08 Februari 2012

INDONESIA BANGKIT...!!!!!!!!!!!!!!!

Yohanes Surya : Menuju Indonesia Genius


Prof. Yohanes Surya Ph.D


“If I have been able to see further,
it was only because I stood on the shoulders of Giants”.
Isaac Newton (1643-1727)


Apakah anak-anak Indonesia
setara kecerdasannya dengan anak-anak bangsa-bangsa maju di dunia? Kalau anda melihat deretan prestasi Prof. Yohanes Surya dan anak-anak asuhannya, jawabannya adalah, tidak. Samasekali tidak.


Anak-anak Indonesia lebih unggul, lebih cerdas, lebih genius dibanding anak-anak dari bangsa-bangsa lainnya, termasuk dari bangsa-bangsa maju!


Di bawah bimbingannya, anak-anak Indonesia berkali-kali merebut gelar juara berbagai olimpiade fisika dan sains dunia yang sangat bergengsi. Mereka bahkan mengalahkan anak-anak dari China, Amerika, Jerman, Inggris, India, Korea Selatan, Australia, dan Israel. Bangsa-bangsa itu yang masih mengira Indonesia adalah bangsa yang terbelakang akan terkejut karena Indonesia tidak hanya setara dengan mereka, tapi bahkan telah melampaui mereka.


Prof Yohanes Surya dan para anak didiknya yang istimewa, cerdas dan pantang menyerah, benar-benar membuat harum nama Indonesia di dunia.


Tiga tahun yang lalu, 2006, Republik Indonesia berhasil secara spektakuler merebut juara dunia Olimpiade Fisika Internasional ke 37 di Singapura, ”37th International Physics Olympiad”. Inilah Olimpiade Fisika terbesar sepanjang sejarah, diikuti para siswa paling cerdas dari 85 negara, dan kita berhasil menjuarainya!


Kita berhasil merebut total 4 Emas, dan 1 Perak, bahkan Jepang saja hanya dapat 3 Perunggu! Ini membuktikan bahwa anak-anak Indonesia tidak sejajar dengan anak-anak cerdas lain di dunia, kita adalah juara, pemenang, nomor 1, lebih hebat dari semua lainnya.


Dan baru-baru ini, April 2009, Indonesia berhasil lagi menjadi Juara Umum di International Conference of Young Scientists (ICYS) di Polandia, mengalahkan pelajar dari negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, Amerika, dan Rusia! Total 6 Emas direbut anak-anak Indonesia dari berbagai bidang ilmu, sementara peserta-peserta dari negara maju hanya mampu dapat paling banyak 3 emas.

Tim IPhO 37, 2006, Singapura


Di Singapura 2006, seorang anak Indonesia asuhan Yohanes Surya berhasil menjadi ”The Absolute Winner”, juara dunia IPhO, yang terbaik mengalahkan 386 anak-anak paling cerdas di negaranya masing-masing. Saat itu, tidak ada yang menyangka Indonesia bisa mendapat medali apapun.


Tapi bukan hanya mendapat medali, anak-anak Indonesia justru mendominasi olimpiade sains bergengsi itu, dan merebut emas paling banyak. Benar-benar surprise yang spektakuler. Sang pemenang besar itu adalah Jonathan Mailoa, anak genius yang sekarang telah belajar di MIT, Massachusetts Institute of Technology.


Dan tidak itu saja. Yang juga mengejutkan adalah peserta termuda genius yang berhasil merebut medali perak. Dia masih kecil, baru SMP, dan kemenangannya membuat seluruh penonton dan perwakilan dari seluruh dunia tertegun dan takjub. Nama anak itu adalah Muhammad Firmansyah Kasim. Para wakil peserta terheran-heran, bagaimana anak sekecil ini bisa memecahkan persoalan fisika yang begitu kompleks, setara S-2 dan bahkan menjadi salahsatu juara? Firman memang bukan anak kecil biasa.


Tahn 2007, Firman kembali mencapai prestasi yang bahkan lebih spektakuler. Ia berhasil merebut emas di kejuaraan dunia “8th Asian Physics Olympiad (APhO)” di, Shanghai, China. Mengalahkan anak-anak terbaik China, di China, adalah sebuah prestasi yang heroik.
Saat itu dia masih kelas 1 SMA (SMA Athirah Makasar), sementara pesaing-pesaingnya, anak-anak terbaik dari seluruh dunia, terutama dari China (yang berpenduduk 1,3 milyar), kebanyakan sudah kelas tiga. Dari 5 anak yang berhasil merebut emas, 4 dari China, dan hanya satu yang dari luar China, yaitu dari Indonesia, Muhammad Firmansyah Kasim, dan dia pun bahkan adalah peserta paling muda.


Banyak juga anak-anak genius Indonesia justru datang dari daerah yang seringkali kita anggap sebagai daerah tertinggal, Papua. Ternyata dalam melahirkan manusia-manusia genius, mereka samasekali tidak tertinggal. Bahkan disana banyak anak-anak yang kecerdasannya tidak akan tertandingi oleh kebanyakan anak-anak paling cerdas di daerah-daerah lainnya.


Anak-anak genius itu adalah George Saa, Anike Bowaire, Andrey Awoitauw, Rudolf Surya Bonay, Jane Ansanay, Zacharias Viktor Kareth, dan masih banyak lainnya.




Brilliant Minds, dari Papua


George Saa, adalah pemenang “First Step to Nobel Prize in Physics” 2004, dan hanya anak-anak paling cerdas di seluruh dunia, para genius muda calon-calon peraih Nobel yang mampu meraihnya.


Hasil penelitiannya yang berjudul “Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor” mengalahkan ratusan karya terbaik yang dikirim peserta-peserta dari 73 negara di dunia. Setiap karya yang masuk akan dinilai 30 ahli-ahli fisika dari 25 negara. Dan juri memutuskan pemenangnya adalah George Saa, dari Indonesia.


Hebatnya, George (Oge) bisa mempunyai pemikiran yang sejauh itu dari Papua. Kita tahu disana fasilitasnya, buku-buku, alat-alat laboratorium, apalagi internet, semua begitu terbatas. Bahkan Oge kadang juga terpaksa tidak bersekolah karena tak punya ongkos, atau harus membantu ayahnya di ladang. Sesuatu yang tentu saja akan membuatnya menangis berjam-jam. Belum lagi buku yang seringkali tidak bisa terbeli.


Ada satu hal yang heroik yang bisa kita pelajari dari sini, bahkan oleh tokoh-tokoh besar dan pejabat di Jakarta. Kalau kemauan kita cukup kuat, tidak akan ada lagi yang tidak mungkin. Tidak akan ada apapun yang bisa menghalangi seseorang dengan kemauan yang cukup besar.


Dan uang, adalah masalah omong kosong. Kalau anda membaca buku di perpustakaan, gratis tanpa biaya, dan anda membacanya seperti orang gila dari pagi sampai malam, tidak akan ada yang bisa mengalahkan anda, bahkan di seluruh dunia.




"Uang bukan segala-galanya untuk maju.
Selalu ada jalan untuk menimba ilmu."
George Saa




Dan George beruntung karena akhirnya dia mendapat bimbingan dari seorang profesor terbaik di Indonesia, Prof. Yohanes Surya. Dengan bimbingan yang unggul, terbukti setiap anak Indonesia, semuanya, bisa jadi yang terunggul.


Di tahun 2005, gadis cilik Anike Bowaire dari SMU Negeri 1 Serui Papua gantian meraih “The First Step to Nobel Prize in Physics” di Warsawa, Polandia. Makalahnya yang berjudul berjudul “Chaos in an Accelerated Rotating Horizontal Spring” dianggap sangat kreatif dan original.

Seorang anak SMU yang mengenal Teori Chaos (keteraturan dalam chaos) sebenarnya nyaris adalah sebuah keajaiban. Tapi seorang anak SMU yang bisa menciptakan teori sendiri tentang Chaos, adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Tapi itulah keajaiban besar yang datang dari Papua. Anike sudah membuat harum nama Indonesia, padahal umurnya pun belum 20 tahun.


Karena senangnya belajar, Anike bisa membaca dan belajar dari pagi buta sampai tengah malam. Orang-orang mungkin akan bertanya, ”kenapa?”. Jawabannya sederhana. Karena ia senang dengan fisika, dan dunia fisika. Baginya, fisika adalah keajaiban.


Setiap benda-benda dan pergerakan segala sesuatu di alam semesta, dari quark sampai galaksi, adalah keajaiban, teka-teki dari Tuhan Yang Maha Baik. Setiap fenomenanya, dari cahaya, gravitasi, sampai Lubang Hitam di pusat tata-surya adalah tantangan yang seru untuk dipecahkan. Teka-teki yang kadang-kadang bisa dipecahkan dengan jawaban yang kreatif dan paling sederhana.


“Kesenangan yang lain adalah setelah saya dapat emas, kawan-kawan di Papua yang sebelumnya selalu tertawa melihat saya setiap sore ikut les bahasa Inggris kini mulai rajin belajar.”
Anike Bowaire, 20 tahun, keteladanan.


Banyak lagi anak-anak Papua yang memiliki prestasi spektakuler.Rudolf Surya Bonay (20 tahun, lahir 7 Desember 1988), adalah pemenang “The First Step to Nobel Prize in Chemistry” di tahun 2006. Andrey Awoitauw mendapat medali emas Olimpiade Sains Nasional (2005) mengalahkan Ivan Kristanto, juara dunia dari Jakarta. Ada juga Jane Ansanay dan Zacharias Viktor Kareth yang akan mengikuti Olimpiade Fisika Asia di Vietnam.


Indonesia benar-benar dianugerahi Tuhan begitu banyak anak-anak cemerlang. Mereka tersebar di seluruh penjuru Indonesia bahkan sampai ke pelosok-pelosok terpencil. Ada Pangus Ho, Irwan Ade Putra dan Andy Oktavian Latief yang bersama Jonathan Mailoa mendapat emas di IphO 2006 di Singapura.


Ada Dhina Pramita Susanti (16 tahun), yang bersama Anike Bowaire mendapat emas di “The First Step to Nobel Prize in Physics” ke-13 di Warsawa, Polandia 2005. Dia juga belajar di bawah bimbingan Prof Yohanes Surya. Dina yang masih remaja kecil ini saat akan ke Polandia berjuang dengan tidur hanya empat jam sehari, selama 4 bulan, untuk bisa menguasai soal-soal yang hanya dimengerti mahasiswa-mahasiswa fisika tingkat pascasarjana. Benar-benar keteguhan yang menakjubkan.


Ada juga Stephanie Senna, murid SLTP Ipeka Tomang yang menjadi anak Indonesia pertama yang meraih emas di Internasional Biology Olympiad di Saskatoon, Kanada 2007. Dia juga pernah meraih gelar “The Best Experimental Winner” di “International Junior Science Olympiad” 2004 di Jakarta.


Di ajang bergengsi yang diikuti 30 negara ini Indonesia kembali menjadi juara umum dengan memborong 8 medali emas, 4 perak, ”Best Experimental Winner” dan “Absolute Winner”. Taiwan mendapat 5 Emas, dan bahkan Korea Selatan dan Rusia saja hanya dapat 1 Emas.


Ada juga anak 13 tahun dari Cilacap bernama Azis Adi Suyono. Ia benar-benar seperti Lintang di cerita Laskar Pelangi. Sekolahnya jauh, dan harus menyeberangi sungai dan rawa-rawa. Anak genius inilah yang merebut gelar ”Absolute Winner” di Olimpiade Sains Junior Internasional 2004 di Jakarta itu. Anak dari keluarga sederhana, dan bersekolah di sekolah terpencil di desa Jojok, Kotawaru Cilacap ini mampu mengalahkan pelajar-pelajar terbaik dari Korea, Taiwan dan Rusia yang mempunyai sistem pendidikan terbaik dan fasilitas super canggih.


Presiden SBY pun kagum padanya. Azis termasuk dalam salahsatu penerima Anugerah Kehormatan Satyalancana Wira Karya yang diberikan di Istana Negara kepada anak-anak Indonesia yang telah mengharumkan nama Indonesia dalam berbagai lomba sains internasional.


Kenapa Azis bisa begitu hebat? Karena baginya fisika itu asyik. Fisika membuatnya bisa mengkhayal tentang begitu banyak hal-hal ajaib di alam semesta. Dia membayangan keajaiban kecepatan cahaya, dan impiannya adalah bila seandainya dia bisa terbang melebihi kecepatan cahaya, maka ”Waktu” akan berhenti. Mungkin kalau manusia sudah benar-benar menguasai Relativitas Ruang-Waktu, maka manusia bisa mengendalikan waktu, dan melakukan ”time travel” seperti di film-film sains-fiksi.


Mungkin kalau kita tidak bisa menemukan Lintang yang ada di Laskar Pelangi, maka Azis Adi Suyono akan menjadi kembaran Lintang yang sejati. Seorang anak kecil yang ditakdirkan menjadi secemerlang Einstein dan Newton.


Dari Klaten, sebuah kota kecil di dekat Yogyakarta, kita akan menemukan seorang anak sederhana bernama Masyhur Aziz Hilmy. Umurnya baru 16 tahun waktu dia menjuarai Olimpiade Astronomi Internasional 2004 di Ukraina.


Azis yang seringkali tidak punya uang untuk membeli buku, bisa menjadi juara sains tingkat dunia. Karena tidak punya uang untuk membeli buku, maka ia memuaskan keingintahuannya tentang luar angkasa dengan membaca di perpustakaan sekolahnya sepanjang hari. Kalau bukunya sudah habis, dia akan pergi ke Yogya, dan dia akan ke pergi toko buku di mal atau perpustakaan, dan membaca disana sampai 5-6 jam.

Wisdom begins in Wonder..
Socrates (469-399SM)


Kenapa dia begitu suka astronomi?
Waktu masih SD, dia pernah membaca sebuah buku yang ringan dan populer. Disana, dia bisa melihat berbagai macam benda angkasa yang menakjubkan, bulan, bintang, planet-planet lain d luar Bumi, galaksi raksasa, tata-surya, nebula yang indah. Sebuah buku Astronomi Populer. Dan pikirannya terbuka, seperti Newton.



On The Shoulders of Giants..


Einstein ”senang” belajar.
Newton ”senang” belajar, Leonardo da Vinci, ”senang” belajar. Feynman, Michio Kaku, Alan Lightman, Carl Sagan, Stephen Hawking, senang, belajar. Semua anak-anak yang disebut cerdas, dimanapun, di Indonesia atau di dunia, senang belajar.


Bagi mereka alam semesta adalah keajaiban. Planet-planet lain di luar angkasa adalah sesuatu yang fantastik. Mungkin ada makhluk lain atau peradaban besar di sana yang tidak kita ketahui. Bagaimana pesawat raksasa yang berbobot ratusan ton bisa terbang, adalah sesuatu yang ajaib. Bagaimana seluruh alam bisa berada dalam keteraturan, dari kuark sampai planet dan galaksi adalah sesuatu yang maha-dahsyat.
Bagaimana kecepatan cahaya bisa diukur, atau bagaimana sebuah partikel super kecil bisa berubah menjadi kekuatan energi maha-dahsyat (E = mc²), semuanya seperti sesuatu yang nyaris tidak masuk akal. Tapi itulah keajaiban dunia, keajaiban alam semesta, keajaiban sains.


Mereka jadi senang belajar, karena mereka beruntung mendapat proses belajar yang menyenangkan, dan asyik. Mereka mempunyai buku-buku yang menyenangkan dan asyik, ensiklopedia ilmu dengan gambar-gambar yang keren, indah, dan berwarna-warni, bahkan komik-komik sains-fiksi yang seru. Kalau mereka tidak bisa membelinya, mereka bisa membacanya di perpustakaan sepuas-puasnya. Mereka juga suka menonton film sains-fiksi, atau benda-benda ”ajaib” yang menstimulasi pikiran mereka.


Ini ada beberapa contoh :
1. Michio Kaku
Michio Kaku waktu kecil senang menonton petualangan angkasa ”Flash Gordon”, dan membaca novel-novel Isaac Asimov (terutama serial “Foundation”). Dia tidak terpesona dengan Flash Gordon-nya, tapi dengan sang ilmuwan, Dr. Zarkov, yang mampu membuat mesin-mesin fantastis seperti roket antar-bintang bahkan menciptakan sebuah kota diatas langit. Bagi Michio, yang menyelamatkan dunia dari kejahatan Kaisar Ming, adalah bukan otot Flash Gordon, tapi kecerdasan sang saintis, Dr. Zarkov.
2. Wernher Von Braun
Wernher Von Braun, Bapak Ruang Angkasa Amerika (yang mantan Nazi), terinspirasi oleh salahsatu pioner teknologi roket Hermann Oberth dan sangat menggemari film petualangan ke bulan, ”Woman in The Moon” yang menggunakan ide-ide awal Oberth. Dia waktu kecil dibelikan ibunya sebuah teleskop untuk melihat bintang-bintang yang menjadi benda kesayangannya. Berkat teleskop itu, dia ingin pergi ke bintang-bintang, bagaimanapun caranya.
3. Edwin Hubble
Edwin Hubble dikenal waktu kecil sangat gemar membaca novel-novel Jules Verne yang fantastik dan misterius tapi juga banyak mengandung sains. Cerita-cerita itu seperti "20,000 Leagues Under the Sea" dan "From the Earth to the Moon". Hubble juga senang membaca buku Henry Rider Haggard, "King Solomon's Mines".
4. Fermi
Kalau Einstein kecil begitu terpesona pada Kompas, Enrico Fermi terpesona pada giroskop (gyroscope, instrumen roda untuk menentukan orientasi keseimbangan).
5. Carl Sagan
Carl Sagan waktu kecil senang cerita-cerita manusia-manusia dan makhluk Mars “John Carter of Mars” dan termimpi-mimpi berpetualang ke luar angkasa.
6. Richard Feynman


Feynman sejak kecil sangat suka membaca Encyclopedia Britannicabersama ayahnya. Ayahnya, Melville Feynman, juga suka mengajaknya jalan-jalan ke pegunungan. Dan sambil jalan-jalan, ayahnya akan memperlihatkan segala macam keindahan alam pada Feynman. (Classic Feynman: All the Adventures of a Curious Character, 2006).


Mereka punya pembimbing yang menyenangkan.
Orangtua mereka mengajarkan mereka keasyikan sains, mereka punya teman, kakak, paman, dan guru-guru di sekolah yang juga menyenangkan dan mengajarkan bahwa alam semesta itu penuh dengan keajaiban. Karena senang, intensitas belajarnya jadi tinggi, itu saja. Seluruh dunia jadi terbuka buat mereka, indah, ringan, menyenangkan, dan gampang. Dan mereka mendapat gelar, anak-anak cerdas, bahkan genius.


Ada cerita waktu Einstein masih kecil. Waktu kecil, Einstein diberi sesuatu oleh ayahnya, sebuah benda ”ajaib” yang menggoda pikirannya. Benda itu adalah sebuah kompas. Einstein kecil tidak habis pikir kenapa jarumnya selalu menunjuk ke Utara. Apapun yang dia lakukan, jarumnya selalu menunjuk arah Utara. Seakan-akan jarum itu punya pikiran sendiri. Seakan-akan, ada sesuatu yang tidak terlihat yang menariknya ke arah sana.


Dan Einstein kecil juga memiliki orang-orang dekat yang mempengaruhi kecerdasan dan kecintaannya pada ilmu dan alam semesta. Pamannya, Jakob, mengajarkannya sebuah permainan yang sangat menyenangkan. Permainan itu adalah permainan berburu binatang diatas kertas.


Binatang kecil yang dikejar itu tidak diketahui namanya, dan akan disebut ”x”. Nanti setelah berhasil ditangkap, maka nama binatang misterius itu bisa diketahui. Nantinya nama permainan berburu binatang tanpa nama itu akan dikenalnya dengan nama, ”Aljabar”. Jakob juga mengajarkan beragam ilmu ke Albert dengan memakai mainan-mainan yang seru seperti kereta-keretaan dan kapal-kapalan.


Albert juga memiliki teman yang lebih tua namanya Max Talmey. Max adalah mahasiswa kedokteran yang miskin tapi cerdas yang sering diundang orangtua Albert untuk makan malam bersama. Max sering membawakan Albert kecil buku-buku dan majalah pengetahuan populer yang bagus-bagus dan menyenangkan dibaca. Buku-buku berisi keajaiban dunia dan alam semesta. Dan kecintaan itupun tumbuh subur, dan Einstein menjadi genius.




"The Key to The Universe"


Menyenangkan, adalah kata kuncinya.
Kalau seorang anak sudah menyenangi keindahan alam semesta, menyenangi teka-teki permainan matematika yang seru, maka tidak ada lagi yang bisa menghentikan mereka.


Dan Prof. Yohanes Surya mengetahui kunci ini. Metode pembelajarannya dinamakan ”Gasing”, Gampang, Asyik, dan Menyenangkan. Yohanes Surya tahu, anak-anak paling cerdas dimanapun di dunia, dan bahkan orang-orang genius, menjadi sedemikian dahsyat otaknya karena hal itu. Dan dengan itu, kita bisa menciptakan banyak anak-anak genius. Ribuan, atau bahkan jutaan. Generasi baru manusia-manusia genius.


Berdasarkan statistik, di suatu bangsa biasanya dari 11.000 orang akan ada 1 orang genius. Maka di Indonesia yang berpenduduk 230.000.000 seharusnya ada lebih dari 20.900 orang-orang genius. Bukan sekedar genius biasa, tapi yang ber-IQ 160, atau setara Einstein (Yohanes Surya, Kompas 29 Juli 2009, Anak Cerdas Butuh Layanan Khusus).


Sedangkan orang-orang cerdas yang IQ-nya diatas 125 mungkin jumlahnya mencapai jutaan. Dan melihat banyaknya prestasi anak-anak Indonesia itu, statistik ini sepertinya tidak terlihat berlebihan.


Sejak tahun 2000, Prof. Yohanes Surya telah mendidik ribuan guru-guru fisika dan matematika di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke di Papua, termasuk pesantren-pesantren. Benar-benar luar biasa.


Dan selanjutnya nanti tentu nanti guru-guru ini akan menularkan ilmunya yang unggul ke jutaan anak-anak di seluruh Indonesia. Pak Yohanes Surya jelas mempunyai keunggulan visi, kemampuan strategis, dan determinasi untuk menciptakan jutaan anak-anak genius di seluruh Indonesia.


Suatu hari nanti, ketika sudah cukup banyak guru-guru yang terinspirasi, sudah cukup banyak anak-anak di seluruh Indonesia yang terinspirasi, maka critical mass akan tercipta. Dan Indonesia akan bangkit menjadi bangsa yang cerdas dan unggul.


Dan berkat kerja keras sang Prof Yohanes Surya, dan banyak tokoh inspiratif Indonesia lainnya, kebangkitan itu mungkin tidak akan lama lagi.





Some Notes:


On Feynman :
Feynman's father used to read to him from the Encyclopedia Britannica. If, for example, they read about a dinosaur that was 25 feet tall with a six-foot-wide head, his father might translate that description into familiar terms for his son: If the dinosaur stood in their yard, it would be tall enough to put its head through an upper window, but its head would be too wide to fit. Throughout his life, Feynman translated complex ideas into simple examples.




Michio Kaku :
"I did not have a favorite childhood teacher, but there was one person who had me riveted to the TV screen every Saturday afternoon. I used to watch the old Flash Gordon series on TV, and it was thrilling to rocket to the planet Mongo every week. But after a while, I figured out that although Flash got the girl and all the accolades, it was really Dr. Zarkov who made the series work. Without Dr. Zarkov, there could be no Flash Gordon.


I was fascinated by the fact that here was a humble individual, who could, by the sheer force of his intellect, change the course of history and save the earth. Although Flash had the looks and the muscles (which we are born with), Dr. Zarkov was a self-made man who could create rocket ships, invisibility rays, and defeat dictators. It made me appreciate the power of science and technology, and the ability of one man to change history by unleashing the power of science."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar